Selasa, 31 Juli 2012

Makna Dibalik Kado Gadis Nuri

“Afirna…Afirna” teriakku memanggil si gadis nuri dengan nada khasku. Akhirnya yang dipanggil nongol juga dari balik pintu.

“Eh, Revan. Ayo masuk…masuk!”. Aku pun segera masuk dan mengikuti langkah Afirna menuju taman belakang.

“Kamu bawa apa tuh, Van?”.

“Oh…iya, ini aku bawakan kado spesial buat gadis nuriku” ujarku sambil tersenyum padanya.

“Tumben, biasanya juga mesti nunggu aku ultah” sindirnya menggodaku.
“Nggak mau ya udah, aku bawa pulang aja” ujarku balik menggodanya.

“Eits…haram hukumnya kalo mau dibawa pulang lagi” ujarnya yang membuat tawa kita pecah bersama.

“Afirna, kamu jaga ya boneka ini!” ujarku sembari memberikan boneka teddy biru padanya. Afirna tersenyum menerima boneka pemberianku.

“Jangan pernah kamu lepas kalung ini, kecuali kamu ingin melihatku marah” tukasku sambil memasangkan kalung yang berliontin love. Kalung berliontin ini, sengaja aku ukir nama Revan dan Afirna pada bagian depan liontin dan panggilan kesayangan kita Elang dan Nuri pada belakang liontin.

“Satu lagi, ini couple ring. Yang ada ukiran namaku, kamu yang pakai! Berarti kamu pakaikan ini ke jariku!” lanjutku sambil memasangkan cincin tersebut ke jari manis Afirna.

Setelah aku melingkarkan cincin dijari manisnya, kini saatnya bagi dia yang memasangkan cincin dijari manisku.

“Sebenarnya ini ada apa sih? Kok kadonya banyak banget?”.

Aku terdiam sejenak, berusaha mengumpulkan segenap tenaga untuk menjelaskan semua ini pada gadis nuriku.

“Afirna, aku sayang kamu” ujarku sambil memeluk tubuh mungilnya.

“Aku juga sayang kamu, Revan” balasnya yang membuatku semakin memeluk tubuhnya dengan erat.
Aku nggak akan sanggup pergi dari gadis nuriku, tetapi memang inilah keputusan terbaik yang harus aku ambil demi kebaikan hidupku. Aku sangat merasa tertekan bila aku masih tinggal bersama kedua orang tuaku yang selalu bertengkar setiap kali keduanya bertemu. Tak jarang, aku harus melihat Papa dan Mama saling menghancurkan perabot rumah ketika saling beradu argumen dengan keegoisan dari keduanya.

“Afirna, sebenarnya kado ini adalah teman yang akan menemanimu selama aku pergi” ujarku dengan sedikit ragu tapi pasti. Afirna yang tak paham dengan maksudku pun segera melepaskan pelukanku.

“Maksud kamu?” selidiknya sambil menatap tajam kedua bola mataku.

“Aku akan pergi ke Yogyakarta,”

“Ke Yogyakarta aja pakai ngasih aku kado sebanyak ini” ujarnya sambil tertawa geli.

“Aku pergi bukan untuk sehari atau dua hari saja Afirna, aku akan pergi selama 7 tahun. Aku ingin SMA dan kuliah disana” ujarku melenyapkan tawa gelinya.

“7 tahun? Kamu bercanda kan? Kamu hanya menggodaku kan, Van?” tanyanya sambil berusaha memaksakan senyumnya. Sangat terlihat jelas guratan kecewa pada mimik wajahnya. Dia seolah tak percaya dan menatapku penuh selidik. Aku pun hanya diam dan menggelengkan kepalaku. Suasana menjadi hening sejenak, sebelum pada akhirnya Afirna memecah kesunyian diantara kita.

“Kenapa kamu pergi selama itu? apa kamu berniat meninggalkanku? Belum tentu takdir akan mempertemukan kita setelah perpisahan selama 7 tahun itu” ujarnya sambil memalingkan muka dariku. Mungkin dia sedang berusaha menyembunyikan kesedihannya dariku. Mungkin dia tak jauh beda denganku. Sama-sama mengenakan topeng guna menutupi kepedihan dan rasa kehilangan yang sedang menyelimuti hati kita. Mungkin dia juga sama sepertiku, berusaha membendung air mata yang siap tumpah dan berusaha mengusir awan kelabu yang tengah menyelimuti perasaan kita.

 “Maaf Afirna, bukan maksudku ingin meninggalkanmu. Aku hanya pergi selama 7 tahun saja, tak lebih” ujarku santai, seolah semuanya akan baik-baik saja. Padahal batin ini menjerit kesakitan bak tertancap ujung belati.

 “7 tahun itu bukan waktu sebentar,”

“Ya, aku tahu itu. Tapi percayalah bila aku akan kembali untukmu. Itu janjiku padamu Afirna” ujarku mencoba menyakinkannya. Aku peluk bahunya dan aku sadarkan kepalanya didadaku.

“Dulu kamu juga janji seperti itu, kamu janji akan selalu setia menjagaku selayaknya elang, tapi kamu justru akan meninggalkanku dengan cara seperti ini. Aku benci kamu” ujarnya dengan penuh emosi sambil memukul dadaku.

“Nuri sayang, percayalah bila 7 tahun itu tak akan terasa lama. Walaupun aku tak lagi disampingmu untuk beberapa waktu ini. Aku tetap elangmu yang akan selalu setia menjaga perasaanku untukmu. Tak akan ada wanita yang bisa menggantikan posisimu dihatiku. Nuri sayang, kamu bukanlah gadis yang lemah, jadi aku yakin bila kamu bisa berdiri kokoh tanpa aku. Dan aku janji sama kamu, begitu aku lulus kuliah. Aku akan kembali buat kamu” ujarku berusaha menenangkannya, sambil aku belai mahkota indahnya.
Afirna pun mulai luluh dengan bait demi bait penyejuk yang keluar dari bibirku. Aku pun mulai memeluknya erat dan mencium keningnya. Aku usap kepingan air mata yang hinggap dipipi meronanya.

“Udah ah, jangan cengeng! Lihat ney bajuku jadi basah” godaku yang membuat awan mendung yang menyelimutinya berganti dengan terangnya sang mentari.

Aku pasti akan merindukan saat-saat seperti ini. Saat gadis nuriku menangis dipelukanku dan tertawa renyah bersamaku. Aku akan merindukan kicauan merdunya dan ekpresi cerianya yang secerah mentari pagi.

***
Setelah 7 tahun lamanya aku menimba ilmu di Yogyakarta hingga menjadi seorang sarjana muda. Aku pun kembali ke kota kelahiranku.

“Afirna…Afirna” teriakku dengan nada khas seperti biasanya. Bukan sosok Afirna yang muncul dari balik pintu, melainkan sosok tante Ofi.

“Eh, Revan. Ayo masuk!” ujar tante Ofi begitu melihat sosokku berdiri didepan pintu rumahnya.

“Iya, Tante” ujarku sambil tersenyum ramah.

Aku pun segera masuk dan duduk manis diruang tamu menunggu tante Ofi memanggilkan gadis nuriku. Aku semakin tak sabar ingin segera menemuinya dan memeluknya. Melepaskan rasa rindu yang telah lama menggebu. Rupanya bukan Afirna yang turut bersama Tante Ofi melainkan Om Santolah yang sedang mengiringi Tante Ofi.

“Ada apa ini? Afirna mana? kenapa papanya yang muncul? Apa Afirna tak diizinkan bertemu denganku? Tapi kenapa? bukannya, Mama dan Papa Afirna sudah tahu kedekatan kita?” sejuta pertanyaan pun mulai terngiang-ngiang dalam benakku.

“Maaf, Tante. Kalo boleh tahu Afirnanya mana ya?” tanyaku begitu kedua orang tua Afirna sudah duduk dihadapanku. Mama dan Papa Afirna diam membeku. Sepertinya ada sesuatu yang sedang mereka sembunyikan dariku. Maka aku pun kembali mengulang pertanyaanku.

“Maaf, Om. Afirnanya mana ya?”.

“Afirna sudah bahagia, Van” jawab om Santo yang membuatku tersentak.

“Maksudnya? Afirna sudah menikah, Om?” tanyaku yang hanya dijawab dengan sebuah gelengan kepala.
Dahiku berkenyit tak paham. Aku amati dengan serius keduanya. Sangat terlihat jelas guratan kesedihan dari kedua orang tua Afirna.

“Afirna sudah bahagia di surga,” ujarnya setelah bungkam beberapa saat. Aku pun semakin tersentak dibuatnya. Pernyataan Om Santo membuat raungan petir bergemuruh dihatiku. Awan kelabu pun mulai menyelimuti hatiku. Aku benar-benar speechles. Nafasku terasa berhenti berdetak, kepingan air mata pun mulai mencuat dari peraduannya. Berita ini sungguh mengejutkanku, membuat tubuhku terguncang gempa dashyat yang seketika meluluhlantahkan batinku.

“Oh…iya,Revan. Tante ada sesuatu buat kamu” ujar mama Afirna dan beranjak meninggalkanku. Tak lama kemudian, tante Ofi datang membawa sebuah kotak yang sudah dibungkus rapi.

“Ini, titipan dari Afirna buat kamu” ujar tante Ofi sambil memberikan kotak tersebut padaku.
Aku buka kotak tersebut dengan tangan bergetar. Ternyata kotak merah marun ini berisi buku diary, boneka teddy bear pemberianku, cincin dan kalung dariku, foto dirinya sedang tersenyum di dalam bingkai foto, satu album kenangan dari zaman TK hingga SMP, sebuah lukisan yang menggambarkan aku dan dia sedang berdiri di depan istana dengan pakaian kebesaran kerajaan, dan sepucuk surat biru muda.
Aku pun mulai membuka dan membaca surat darinya.

Revan, bila kamu membaca surat ini. Berarti kamu telah kembali dan menepati janji. Revan, maaf aku harus terlebih dahulu meninggalkanmu. Revan buku diary ini akan memberimu informasi bagaimana aku menghabiskan hidupku tanpa kamu. Teddy bear yang selalu setia menemaniku ini akan selalu menemanimu. Kamu jangan marah ya kalo aku lepas cincin dan kalung pemberianmu. Biarkan cincin ini bersatu dengan pasangannya seperti kita yang kelak bersatu di istana indah yang sudah aku lukis untukmu. Aku ingin kamu tahu betapa indahnya istana kita di nirwana. Aku juga sengaja membingkai foto terbaruku untuk pelipur rindumu padaku. Kamu bisa kok menaruh kalung tersebut pada foto ini, seperti kamu mengalungkannya dileherku. Sengaja aku beri penyangga kecil disisi kiri dan kanan bingkai sebagai tempat kalung tersebut, ukurannya juga sudah aku sesuaikan. Dan terakhir aku buat album kenangan kita berdua agar kamu selalu mengingatnya dan tidak melupakanku hingga takdir mempertemukan kita di altar keabadian yang indah
Aku menyayangimu hingga akhir hayatku. Aku harap kamu memaafkan segala kesalahanku padamu, terima kasih sudah menjadi sahabat sekaligus pangeran hatiku. Titip kedua orang tuaku ya, Jagain mereka, dan anggaplah mereka orang tua kamu sendiri!

Salam Sayang,
                                                                                                    Afirna Amelia

Air mataku terus berlinang membaca surat terakhir Afirna. Aku tak percaya, keputusanku meninggalkan Afirna sementara justru membuatku ditinggalkan gadis nuriku untuk selamanya. Kalau saja waktu bisa aku ulang, tapi aku bukanlah Tuhan. Mungkin lebih baik aku merelakan kepergiannya dan menjalankan amanah darinya.

***
Sore ini, aku bersama kedua orang tua Afirna mengunjungi pusara terakhirnya. Aku cium batu nisannya dan aku beri taburan bunga pada tanah yang menimbun tubuhnya.

“Afirna, aku datang bersama kedua orang tuamu. Aku ingin kamu tahu bila aku sudah menganggap mereka sebagai orang tuaku. Terima kasih telah memberiku keluarga baru yang lebih menyayangiku dibanding kedua orang tuaku. Terima kasih untuk 7 kado yang sangat bermakna buatku” ujarku sambil tersenyum pada batu nisan yang aku ibaratkan dirinya.

Tante Ofi pun memelukku dengan tangis harunya. Om Santo tersenyum senang mendengar pernyataanku. Isak tangisku pun pecah dalam pusara terakhir Afirna. Rasanya aku masih belum percaya bila dia sudah pergi meninggalkanku untuk selamanya.
Selesai…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar